Di satu sore yang lain, di tempat yang sama. Dari balik jendela ia menatap ke luar, ke langit biru yang sesekali diselimuti awan. Kadang putih, kadang juga abu-abu seperti saat ini.
Ruang yang dulu selalu ramai dan memancarkan aura kebahagiaan itu kini sepi nyaris tak berpenghuni. Hanya ia yang masih setia mengunjunginya. Sesekali di tiap hari. Sendiri..
Ia pun mendesah.
Hei, bahkan helaan napasnya kini terdengar begitu jelas di ruang itu. Memantul-mantul di dinding, lantai dan atapnya.
Diraihnya kopi hitam dalam cangkir kesayangan. Cangkir yang sama, kopi yang sama. Kini hanya cangkir dan kopi hitam itu yang masih setia membersamainya.
Untuk kali kesekian kopi hitam itu disesapnya perlahan.
Kembali ia menatap dari balik jendela. Langit biru itu masih ada. Masih diselimuti awan. Kali ini kebanyakan awan putih. Sebagian tipis, sebagiannya lagi tebal.
Ia bersandar di kursi kayu yang beberapa bagiannya sudah lapuk termakan usia. Menatap lekat dari balik jendela. "Aku sudah ditinggalkan beberapa sahabatku, apakah kau juga akan pergi meninggalkanku?" tanyanya pada langit biru.
Ruang yang dulu selalu ramai dan memancarkan aura kebahagiaan itu kini sepi nyaris tak berpenghuni. Hanya ia yang masih setia mengunjunginya. Sesekali di tiap hari. Sendiri..
Ia pun mendesah.
Hei, bahkan helaan napasnya kini terdengar begitu jelas di ruang itu. Memantul-mantul di dinding, lantai dan atapnya.
Diraihnya kopi hitam dalam cangkir kesayangan. Cangkir yang sama, kopi yang sama. Kini hanya cangkir dan kopi hitam itu yang masih setia membersamainya.
Untuk kali kesekian kopi hitam itu disesapnya perlahan.
Kembali ia menatap dari balik jendela. Langit biru itu masih ada. Masih diselimuti awan. Kali ini kebanyakan awan putih. Sebagian tipis, sebagiannya lagi tebal.
Ia bersandar di kursi kayu yang beberapa bagiannya sudah lapuk termakan usia. Menatap lekat dari balik jendela. "Aku sudah ditinggalkan beberapa sahabatku, apakah kau juga akan pergi meninggalkanku?" tanyanya pada langit biru.